Karena Tak Ada Kata Kebetulan Kecuali Semua itu telah Allah Tentukan

Minggu, 31 Januari 2016

Sadar

Subhanallah, diriku sekarang ini sudah tersadar, mulai sore tadi (30/01/2016). Pencarianku akan 'sebuah batu' (yang dibeli dari nusakambangan yang membuatku sedikit kebingungan itu) telah menyadarkanku kembali, dari kesadaran total, mencicipi arti sebuah hakikat (terbuka hijab). Aku tidak memiliki rasa khawatir, takut, capek atau lainnya selama itu (23/01/16 s.d 30/01/16) tetapi aku tetap tau, mata terasa perih, berarti aku harus istirahat, sekedar memejamkan pelupuk mata. Semuanya ini tidak berarti bagiku (seolah-olah seperti itu). Adikku yang dalam kondisi 'lupa diri' pun tak mengganggu ketenanganku, ketenangan itu bisa tergambar jelas dalam memoriku, seraya merenungi ketenangan KH.Munif. Bahkan saya hampir tidak merasa bahwa ini kah diri saya, ataukah mbah yai atau Allah. Memang  semuanya ditunjukkan dari awal (penyebab pokok, yang paling pangkal) hingga akibat paling akhir (besok, masa mendatang), namun masih hanya pada lingkup dalam keluarga saya. Hampir saya tidak menyadari bahwa inilah karena 'wasilah'. Dari wasilah tersebut langsung saya diantarkan pada kesadaran yang dalam (hakikat).
Iya saya tetap bisa beraktifitas normal seperti biasa, bukan kok saya jadi hebat, bisa melihat masa depan siapa pun, itu juga tidak.
Saya bisa menerima tamu, adik yang masih 'sakit' dijenguk rekan kerja, juga mungkin kesadaran saya yang menjawabnya. Mungkin pembicaraan saya ketika itu sangat 'bijaksana'.  Bukan lantas saya terus jadi sombong, tak pernah ada dalam lintasan pikiranku. Aku juga masih bisa mengajar dalam kelas, mungkin disertai sebuah senyum, dan ketenangan mbah yai.
Mungkin Nabi Muhammad ketika akan memperoleh wahyu pertama seperti yang sudah terjadi pada diriku. Dengan proses yang sama. Tentu dengan hasil yang jauh beda, yang Nabi terima jauh lebih tinggi kualitasnya. Aku merasakan jantungku seperti ingin terlepas, yang bisa kulakukan pasrah, kalau lah aku harus mati.
Saya masih lah tetap saya yang dulu. Yang hanya bisa Alif-Ba-Ta. Yang masih mengaji mempelajari 'alif bengkong'.

Kamis, 28 Januari 2016

Emosi yang Terkuras

Alhamdulillah, Sebenarnya sejak saat itu saya mulai bisa mengambil kesimpulan bahwa orang-orang di sekitarku adalah orang-orang sufi 'yang jernih pikirannya'. Tulisan ini aku tujukan untuk pribadi, supaya mengingatkanku kembali tentang cara mengendurkan syaraf-syaraf pikiran yang mengencang dengan disadari maupun tidak. Membutuhkan waktu dan sedikit kesabaran, kesadaran menguraikan simpul-simpulnya, hingga menjadi rileks kembali. Selanjutnya menuntun hati bahwa 'yang terpenting aku selamat' saat ini. Dengan begini apapun energi negatif dari luar diri saya pastilah akan kembali ke asalnya, karena prinsipnya segala sesuatu itu asalnya dari Allah maka akan kembali pada-Nya. Yang ada hanya keselamatan diri saya.
Ini lah sebuah pengalaman yang saya alami yang telah menguras banyak energi, emosi, cucuran air mata, keringat, dan kejernihan pikiran, telah terjadi yang hampir menemukan 'jalan buntu', hanya atas petunjuk, dan wasilah yang tepat serta tekad untuk menghadapinya lah sebagai obatnya. Allahu Akbar.
Jika tidak salah, energi negatif itu bersumber dari diri saya sendiri, semakin hari mengumpul dan akan menemukan titik tolak yang pada akhirnya terjadilah peristiwa yang saya sebutkan sebelumnya. Bahkan tensi 190/120 merupakan hal aneh apabila aku masih bisa beraktifitas (16/01/16), meskipun terasa lemah, seminggu kemudian chek lagi jadi 185/112 masih terasa lemah agak pusing, lalu seminggu kurang 2 hari saya chek lagi hasilnya 153/97 terasa lebih baik.

Ada cerita; Sebuah keluarga kedapatan melihat seekor ular di rumahnya, dengan segala usaha mereka mencari ular tersebut untuk dibunuh, sampai tiga hari tiga malam, pun belum ketemu juga. Maka sikapi dengan 'jika sudah tidak ketemu, ya sudah, berarti Allah telah menyelamatkan mu dan menyelamatkannya'.